Ads (300x250)

[Cerbung]-Prahara Cinta Seorang Syarifah #Ep03



Story ghina
Kuberjalan didalam gelap
Kumendaki namun tak ku mengerti
Ku masih disini…….. menunggumu
                Ku berlari mengikuti hari
                Tak berhenti aku masih disini
                Menantimu yang entah dimana
Dibawah naungan Anwarul Mukminin
aku selalu berharap,
Bertahan meski sepi………
Menunggu hentakan kaki yang ingin ku dengar
Dan ku sebut namamu dibawah alam sadarku
~AMI~

Ku pandangi buku diary mungil bergambar hello kitty, teringat akan sesuatu pahit dan juga manis. Pahit karena kita tak saling menyatu. Hatiku menjerit setiap kali mengingatnya. Kisah cintaku berakhir diujung tanduk. Keputusan itu meringkus semua asa yang kumiliki belum cukupkah cintaku menjadi korbannya ya Allah…..
                “mbak ghina… gawat mbak”, suara lantang seorang membuyarkan lamunanku. Melihat junaidah mendekat, kuputuskan untuk menyudahi curahan hatiku di buku. “ada apa sih jun? apanya yang gawat?”, junaidah masih tak bisa tenang.
                “vita sama menik berantem, jambak-jambakan dikamar ‘darul khulud’”,
“hah,….?!!”,
“ayo cepetan kita kesana mbak, sebelum terlambat”, junaidah, si keamanan keII ikut mempartisipasi kekacauan pesantren, sama-sama bertanggung jawab atas itu.
“STOPP !!!”, teriakku keras. Kericuhan berhenti sejenak. Aksi vita yang mengantung dan matanya yang menatapku tajam.
“kalian ikut aku ke kantor”,
“ghin, aku bisa jelasin semuanya”, vita mencoba mengelak, namun aku tak peduli, aku tahu seperti apa vita dulu.
“eh kamu ! nggak disekolah nggak dipesantren sama aja, selalu bikin orang susah, selalu aja bikin onar”, bentakku didepan banyak orang. Aku tak peduli lagi orang seperti dia tak perlu dikasihani. Kejadian beberapa tahun lalu masih saja terngiang di ingatanku. Membuatku muat untuk menatap wajah brutalnya.
“eh elo nggak tahu asal-usulnya jangan asal nuduh, bukan gue yang mulai”,
“asal usul apa lagi?!! Asal usul kamu udah kelam dari dulu,dengan dengan kamu berantem kayak gini kamu tetep salah! Ini pesantren, bukan arena ring smackdown!”,
“oke ! fine! Iya gue yang salah! Terus aja elo nyalahin gue, silahkan!”,
Vita terusir pergi, panas api dihatinya pasti tak ketulungan. Aku terpaku menatap punggungnya, aku tau gurat wajahnya saat itu, terbersit rasa bersalah menyeruak didalam hati karena menyalahkannya tanpa ampun didepan banyak orang. Belum pasti juga dia yang salah. Tapi perilakunya dan teman-temannya dulu sangat keterlaluan.
“sampai kapan sih bertingkah seperti anak kecil terus vit?”, ujarku setelah menemukannya duduk meringkuk memeluk kedua lututnya di bawah tempat jemuran.
“ngapain elo kesini? Mau nyalahin gue lagi, bilang gue pembawa masalah gitu!! Bilang aja terus, sesuka lo!”,
“aku kesini pengen ngajak kamu berdamai sama menik, nggak baik berantem kayak gitu”,
“nggak mau !”,
Dengusnya keras. Aku mendengarnya benci. Kenapa harus ada makhluk seresek ini didunia? Dan kenapa dia harus jadi tanggung jawabku? Sial1
“sesempurna apa sih kamu sampai diajak damai aja nggak mau?, semua orang pasti punya salah, apa lagi orang macam kamu!”, ada tekanan dikalimat terakhirku, biar dia sadar. Hidup ini bukan punya nenek moyangnya, biar dia dia bisa berpikir tentang kesalahan. Lirikan tajam mengarah padaku, marah?! Yang benar saja, justru aku yang lebih marah dirutuki masalah karena onarnya selama beberapa tahun.
“oke, gue mau berdamai, tapi abis itu lo harus dengerin penjelasan gue”, ungkapnya selama beberapa menit mendengus.
“maksa banget, jelasin aja sama diri kamu sendiri, intropeksi diri! Kalo pengen pengen berdamai itu yang ikhlas!”,
“kok lo gitu sih?”,
“ah ! sudahlah, sekarang terserah kamu, aku capek sejak kemarin kamu datang kesini. Aku disini bukan Cuma ngurusin kamu aja”,
Aku beranjak, melangkah menjauh menghidar dari dendam yang dulu sempat membara mengingatnya dan teman se-genknya merusak buku karyaku. Aku masih ingat itu! Terlihat jelas tawa mereka yang bagai air mendidih, aku masih tak bisa memaafkannya. Mereka tertawa tanpa peduli sama sekali dengan perasaanku saat itu. Sungguh keterlaluan!!
“gue ngelakuin semua ini demi lo ghin! Demi nyelametin buku karya lo yang mau diambil menik dan mau diakui sebagai karyanya dia, dia itu pencuri !”,
Langkahku terhenti, dengan terpaksa untuk menoleh melihat ekspresi membosankan, enak sekali dia bilang seperti itu. Apa dia lebih baik dari menik?! “heh! Jangan nuduh sembarangan ya! Menik itu anak baik-baik”,
“lo di bo’ongin sama tampangnya dia yang sok alim itu ghin! dia itu nggak sebaik yang elo kira ghina”,
“aku kenal menik lebih lama dari pada kamu ! dan dia baik-baik aja, justru semenjak ada kamu hidupku jadi berantakan!”,
“dan ini buktinya kalo elo nggak percaya!”,
Tangannya menunjukkan sebuah benda yang sedari tadi disembunyikan dibalik punggungnya. Aku terpaku seketika, kupandang benda itu yang tak sing bagiku dan ternyata memang benar. Itu buku karyaku! Kenapa sampai ditangannya? Padahal buku itu hilang beberapa tahun yang lalu..?? ya ! sebelum aku bernaung di “Anwarul Mukminin’ kenapa ? …. Bagaimana … bagaimana bisa buku itu ada padanya. Jangan-jangan malah dia yang mencurinya !!
“kenapa buku itu ada di kamu? Kamu mencuri ya ?!”, tudingku tanpa piker panjang.
“gue nggak sengaja nemuinnya dilaci bangku lo pas gue ngasih coklat valentine waktu itu, sebagai permintaan maaf gue karna udah sering banget jahilin elo, ghin..., waktu itu baru dapet hidayah kalo selama ini tindakan gue keterlauan dan merugikan orang lain, terutama lo…”,
Aku hanyut dalam ungkapannya, tak ada unsur fiksi diwajah setengah preman itu, kali ini ia mendramatisir terlihat anggun – tak seperti vita yang ku kenal tiga tahun lalu.
“gue sadar… setelah baca cerita yang lo buat ghin, gue terharu, ternyata ceritanya kaya gue banget”,
“trus, setelah kamu liat buku itu kamu ambil dan nggak mau ngembaliin ke aku gitu,.. sama aja bo’ong”,
“sory kalo gue lancing. Gue berniat minjem, tapi kalau gue bilang juga lo nggak ngebolehin kan pastinya”,
“dasar kamu! Gara-gara kamu aku kayak orang amnesia pas tiba-tiba aja dapet hadiah dari ‘An-Nida’, padahal aku nggak pernah ngirim ke ‘An-Nida’”,
Sebelah bibirku tertarik. Untuk pertama kalinya aku tersenyum padanya. Pada makhluk Allah yang paling ku benci slama ini. Melihat senyumku, ia malah diam terpaku tak bereaksi. Kurengkuh bahunya setelah lama mematung. Vita masih tak mengungkapkan sesuatu. Ternyata selama ini tangannya yang membantuku menitah jalanku sebagai seorang penulis yang kurang dikenal khalayak. Berkat jerih payahnya mengetik menyalin tulisanku di Microsoft word. Dan dibuku yang telah terbit itupun, namanya entah kemana. Harus bagaimanakah aku sekarang? Dia justru menjadi tonggak asaku. Ya Allah.. inikah yang namanya kehidupan… ?
                “makasih ya vit, berkat kamu cita-citaku tercapai”, vita terpaku menatapku, mulutnya menganga seolah melihat sesuatu yang aneh. Memang aneh hari ini, seorang aku dengan ikhlas memeluknya. Bahkan tersenyum manis seolah kita ini adalah saudara kembar yang terpisah jauh dan kini bertemu kembali. Padahal dulu….
                “vita, katakana sesuatu, jangan diam saja”, desakku pada vita
                “gue masih nggak percaya lo meluk gue ghin, mimpi apa gue semalem”, tatapnya dengan heran.
                “ah kamu,.. kayak dipeluk siapa gitu pake nanya-nanya mimpi apa segala”,
“tapi gue seneng banget ghin, akhirnya lo sadar juga kalo sebenernya gue itu baek”,
“tapi kenapa waktu itu lo rusakin buku gue vit ?”,
“bukan gue yang ngerusakin ghin, sumpah !! gue nggak pernah nyuruh, gue juga sempet marah sama mereka”,
Aku terdiam. Vita mulai bercerita panjang lebar kejadian yang sebenarnya waktu itu. Memang waktu itu dia tidak ada disitu. Tapi siapa tahu aja, “terserah elo ghin mau percaya atau nggak, tapi emang itu bukan kerjaan gue”,
“iya-iya, gue percaya sama lo vit”, vita tersenyum, kami lukis perdamaian dibawah atap Anwarul Mukminin, suatu tempat yang menjadi tumpahan segala asaku, keluh kesahku selama ini. Anwarul Mukminin…
Mungkinkah aku juga menemukannya kelak, disini? Didirimu yang selalu diberkahi Allah…
“ghin”,
“Hmmm”,
“gue pengen punya sahabat sejati, nggak kayak temen-temen gue yang dulu, lo mau kan jadi sahabat gue ghin”,
“nggak mau!”,
                “lo tega banget ya ghin…”, bibirnya mengerucut. Aku menahan tawa melihatnya. Mengingatkanku pada seseorang.
                “enak aja mau jadi sahabatku, kamu itu anak asuhku disini”, tawanya meledak seketika. Dasar anak mami mantan preman sekolah, nggak disekolah. Nggak dipesantren, tawanya bisa buat beli pulsa. Tapi ya memang begitulah vita… selalu apa adanya.
                “wah, elo seneng banget jadi emak-emak”, kami tergelak. Bertukar tawa ditempat yang jauh dari lalu lalang orang berjalan. Mengingat sebuah tali persahabatan.
                “duh, so sweetnya…”,mbak zahro’ hadir ditengah-tengah kecanda tawaan kami.
                “eh ghin, vit. Ikut aku ke ndalem yuk”, kening kami berkerut keatas. Saling ingin Tanya. Tapi mbak zahro’ dengan cepat melangkah. Ada apa? Kenapa mbak zahro’ Nampak serius sekali.
                Sampai di ndalem, vita tercengang. Namun aku terbiasa. Di kursi ruang tamu putra, abah farikhin didampingi umik nafisah duduk anggun bak pengantin baru. Tak salah lagi, ini pasti siding akbar kasus pencurian kemarin. Aku berjalan tersimpuh mengikuti langkah mbak zahro’. Semua pengurus inti dan keamanan juga duduk berjejer dengan kepala tertunduk. Tapi yang menjadi pusat pandanganku hanya satu orang disamping junaidah. Menik ?! ya! Itu menik! Kenapa ada menik, dia kan bukan pengurus inti atau keamanan ?
                Tiba-tiba menik berjalan bersimpuh kea rah vita, dugaanku mungkin benar menik…???
                “vita, sebelumnya aku minta maaf. Aku udah lancing ngambil uang kamu tanpa izin. Dan ini uang kamu vit. Tapi maaf uangnya nggak seperti semula. Aku pinjem dulu buat bayar rumah sakit ibuku. Nanti kalau aku sudah dapat uang aku balikin kurangnya”, satu per satu air mata menik jatuh terurai. Air mata menik menyentuh relung hatiku. Menik melakukannya demi ibu… ya allah, pernahkah aku melakukan semuanya untuk ibu?. Oh bukan ! untuk apa aku melakukannya untuk ibu. Beliau dimana saja sekarang aku tak tau. Sedih, atau malah bahagia ? ah, rasanya dia bahagia. Harusnya dia sedih. Hah ! sesedih apapun ibu, pasti lebih sedih aku karena ditinggalkannya bertahun-tahun dipanti asuhan.
                “mbak ghina … aku juga minta maaf, aku… pernah ngambil buku karyamu untuk aku jual”, menih beralih menghadapku. Air matanya masih menghias wajah polosnya. Jujur aku kecewa karna selama ini sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Tapi air matanya… meluruhkan kekecewaanku. Itu bukan keinginannya. Siapa sih yang tega melihat orang tua satu-satunya terbaring lemah diruang inap rumah sakit?
                “sudahlah nik, aku sudah memaafkanmu, aku maklum nik, tapi jangan diulangi lagi ya, cukup kali ini saja”,
                Menik mengangguk. Semua orang memandang kami yang seperti serial kartun teletubis. Menik menangis dipundakku. Abah farikhin dan umi’ nafisah tersenyum mafhum.
                “aku janji nggak akan ulangi lagi mbak”, semua pengurus ikut terharu. Kulihat mereka terisak, sesekali mengusap air matanya.
                “sekalian aku pamit mbak…,aku pulang dan… mungkin nggak akan kembali. Mbak-mbak semua, menik pamit ya. Abah, umi’ terimakasih banyak atas bimbingannya selama ini”,
                Tangisku meledak seketika, andai taka da umi’ dan abah mungkin aku sudah menangis sejadi-jadinya. Ingat ghina…. Menik berhak pergi untuk ibunya. Dan dia nggak bisa selamanya jadi teman tidur kamu. Ya allah… kuatkanlah hamba.
                “menik hati-hati ya di jalan. Kamu harus tetap semangat, aku selalu berdoa untuk kamu”,
                “makasih mbak, mbak juga harus semangat!”, pegangan tangan kami perlahan mengendor, menik beranjak dari duduk, menghampiri abah dan umi’ dan bersimpuh tepat didepan lutut beliau berdua. Mengecup kedua tangan beliau. Suasana semakin mengharu biru.
                “menik, tunggu !”, suara keras vita menggelegar diruang tamu putra. Vita menjadi pusat perhatian saat berjalan menghampiri menik di ambang pintu.
                “ya vit, ada apa lagi?”, jawab menik.
                “uang ini buat kamu aja, kamu pasti lebih membutuhkannya dari pada aku. Untuk kebutuhan kamu dan ibumu”,
                “nggak usah vit, aku nggak mau nambah hutang lagi”,
                “udah … tenang aja, nggak usah di ganti. Aku niatnya ngasih, nggak ngutangin”,
                “tapi vit…”,
                “udah… ambil aja, aku seneng kok bisa bantu kamu. Sekarang aku tau yang sebenarnya, nggak seharusnya aku ngajak kamu berantem tadi, maaf ya nik…”, menik masih terpaku menatap vita yang terus saja tersenyum. “ayo ambil…”,
                “makasih ya vita…, aku… nggak tau harus bales kebaikanmu. Makasih … banget”,

* * *

0 Response to "[Cerbung]-Prahara Cinta Seorang Syarifah #Ep03"

Post a Comment

wdcfawqafwef