Ads (300x250)

[Cerbung]-Prahara Cinta Seorang Syarifah #Ep05


Flashback : Love story ghina masyhar
16 sya’ban, liburan akhir tahun
           
            Ghina terduduk sendiri melihat lalu lalang para santriwati berkemas. Belasan panggilan masuk didepan telephone milik pondok dengan nomor yang sama ia acuhkan begitu saja. Ghina malas sekali hari ini. Ghina benci mendapat panggilan telephone ini. Ia lebih memilih duduk sendiri ditengah hiruk pikuk penyambutan hari libur. ambarawa masih tak berubah, pikirnya selalu.
            “ghin, kenapa sih kamu nggak mau angkat telephone itu, siapa tahu penting”, mbak zahro’ mencoba membujuknya. Namun prinsip ghina tak pernah tergoyah. Ghina sering kali dibujuk seseorang. Namun tetap saja nihil.
            “nggak ada yang penting mbak. Mbah pasti nyuruh aku pulang”,
            “emang kamu nggak pengen pulang, ghin”,
            Ghina tertunduk. Tangannya memainkan bolpoin tanpa henti. Sebuah tanda bahwa ghina sedang ada masalah. Kemudian mbak zahro’ menghentikan aktifitasnya itu, menyeringahi dengan cengiran.
            “aku tau kenapa kamu nggak mau pulang, kamu ada masalah kan dirumah?”,
            “ee… aku…”, ghina tergagap.
            “udah, nggak usah ditutup-tutupin, aku tau kok. Eh,ghin, pulang ke rumahku aja yuk. Nanti kita mancing disungai”,
            Seketika raut muka kusut ghina berubah drastis. Matanya berbinar, membuat mbak zahro’ lega melihatnya. Adik asuhnya itu memang mudah ditaklukan olehnya, hanya dengan mengajaknya pergi ke sungai. Ghina menyukai alam berair.
            “mau banget mbak…”, jawabannya dengan sumringah.
            “hmmmm…. Dasar wong gunung”, ghina hanya cengar-cengir sembari menyahut bolpoinnya dari tangan mbak zahro’ dengan cepat.
            “ya udah, cepetan siap-siap, sebentar lagi aku mau dijemput ghin”,
            “oke mbak”,

* * *

            Ghina lelah sampai ditempat. Apalagi kalau tiba datang bulan. Kedua kakinya mengayun diatas tempat tidur. Perjalanan yang lumayan jauh itu menimbulkan bunyi gemertak ditulang sendinya. Tapi seenggaknya itu menyenangkan, karena hanya tubuhnya yang lelah, bukan pikiran ataupun perasaannya. Ghina lega sekarang.
            “mandi dulu sana, ghin. Terus makan”, mbak zahro’ melenggang dihadapannya seusai mandi. Memandang ghina penuh canda.
            “males ahh mbak dingin…”,
            “hello…. Ini bukan ambarawa ghina. Disini panas…”,
            “oh iya ya, aku lupa kalau ini di Demak”,
            “ya udah cepetan sana mandi”,
            Tangannya bergerak menjajar kening, memberi hormat pada sang sesepuh. Tanpa canggung, ghina berlari ke kamar mandi itu karena rumah mbak zahro’ rumah ghina juga.
            Bulir-bulir air membasahi tubuhnya. Ia biarkan tubuhnya terbiasa dengan apa yang didekatnya saat ini. Suhu panas, sungai berjejer, mungkin ia sudah biasa dengan panorama itu ketekia mbak zahro’ mengajaknya pulang. Tapi justru ia sangat menikmati. Ghina suka sekali sungai hijau, sungai Demak.
            Angannya melayang jauh, sambil memainkan air ghina seolah mempunyai beberapa waktu. Dan tiba-tiba saja lampu padam. Singup! Sunyi…. Semuanya gelap. Hanya suara gemersik air yang mengucur. Ghina berhenti dari aktifiasnya dan meletakkan dayung biguta saja. Dirabanya gantungan baju disebelah tangannya yang tertera baju disana. Balutan sarung, baju dan jilbab seadanya. Ghina mencoba menghindar dari kegelapan. Namun seakan langkahnya tercekat ketika datang suara hentakan kaki diatasnya. Ya, tepat diatas kepalanya. Ghina nyaris pingsan kalau bukan karena mengingat pesan kakeknya jika sedang berhadapan dengan penghuni lain disuatu tempat ia harus mengucap salam.
            “assalamualaikum ya ibadikas sholihin…”, ucapnya dengan perasaan was-was. Tubuhnya bergetar hebat.
            “waalaikumsalam…”, suara dikegelapan itu menjawab. Ketakutan ghina tambah berkembang pesat menjalar keseluruh tubuh. Apalagi suara itu sangat asing. Bukan ayah atau kakaknya mbak zahro’ atau saudaranya?.
            Ghina mengucapnya sekali lagi, dan kali ini tak ada jawaban. Hanya suara krek… tik… tik… nging… dakk…!
            “kok nggak dijawab ya? Apa mungkin makhluk halusnya sekarang bukan muslim ? aduh… mbak zahro’ dimana… aku takut…”, gerutunya dalam hati.
Kegelapan masih mengunci langkahnya. Ghina terjebak dikamar mandi seorang diri ditengah kegelapan yang mencekam. Angin malam berdesar menghajar tubuhnya yang kian membeku. Suasana berubah sunyi setelah suara itu tak terdengar lagi. Mulutnya berkamit melafalkan ayat-ayat suci al-qur’an, meski ada sebagian paham yang melarang namun ia tak peduli.
            Drap lampu akhirnya nyala kembali. Ia lega sekarang, dalam hati ghina mengucap hamdalah beberapa kali. Cepat-cepat ia membuka pintu. Dan ….
            “Huuaaa… aaa….a..!!!”,
            Spontan ghina berteriak histeris. Seorang pria tinggi semampai langsung menutup mulutnya dengan ujung jari.
            “hhssstttt..!! berisik ! ngapain sih teriak-teriak? Lo pikir ini dihutan apa?!”,
            “lha lagian situ nganggetin aja, kan aku kira setan tadi”,
            “setan-setan mbahmu ! mana ada setan bisa benerin lampu”,
            “namanya juga nggak tau, kenapa marah-marah to?”,
“y ague jelas nggak terima donk lo kira setan, ganteng-ganteng gini dikira setan, lagian lo siapa sih?”,
Ghina melengos, berkacak pinggang kemudian melenggang begitu saja membiarkan pria asing itu bertanya-tanya. Bukan ghina bila harus meladeni setiap kata pria kecuali kakeknya. Itupun masih tak seluruhnya. Tak jarang ghina bertingkah seolah-olah tak ada apa-ap setelah mengalami sebuah peristiwa. Ghina tetap ghina yang dulu. Tak banyak bicara, tak banyak senyum. Tapi tegas dalam bertindak. Dan selalu melakukannya sendiri. Ghina lebih menyukai kesendirian, tapi takut pada kegelapan.
Gening air sebening embun pagi, membujuk siapa saja yang ingin melihatnya. Ditambah pepohonan hijau lebat dan angina sepoi, sungai jernih dipenuhi ikan-ikan bermunculan sesuka hati menarik perhatian ghina untuk memenuhi hasyrat memancingnya dua hari yang lalu. Ghina tak ingin melewati panorama apik itu. Ada beberapa ikan disana, tapi yang diidamkan darinya selalu saja yang memiliki bahaya. Ghina terpatri dengan ikan lele.
“suka banget sama ikan, orang pegunungan ya’ lo”, tiba-tiba datang suara dibelakangnnya, bersamaaan dengan pantulan bayangan dari dalam air. Hampir saja ghina berteriak. Tapi setelah tau siapa yang datang, teriakan itu berubah gerutu hati. Seperti biasa, ghina berkacak pinggang setelah sekilas melirik seorang yang berkomentar atas dirinya. Seolah tak ada apa-apa.
“ini orang mahal banget suaranya….”, batin orang itu. Lama keduanya berdiri, namun sunyi.
“ghina masyhar, lahir 11 oktober 1994, perawan ayu ambarawa, ditanyain kok diem aja sih…”, akhirnya kalimat itu meluncur juga setelah sedari tadi menyumpal diujung bibirnya. Kali ini ghina bereaksi. Kepalanya memutar kebelakang melihat si pria yang mengobral pesona gingsulnya.
“kamu sebenarnya siapa toh?, hoby banget ngerusak mood orang”, Tanya ghina sinis, tapi yang ditanya malah cengar-cengir bikin geli.
“nah gitu dong, ngomong. Mahal banget sih suaranya. Oh ya kenalin, gue aji maulana ishaq. Anak-anak anwarul mukminin sih manggilnya ishaq, soalnya gue anaknya papi Ibrahim abah farih juga manggilnya ishaq lho…”,
“nggak penting nama kamu siapa, tapi aku mau kamu jangan banyak omong dan jangan muncul secara tiba-tiba”,
Aji justru sebaliknya, tetap tenang meski orang didepanya beramarah besar. Aji justru penasaran dengan gadis itu yang kata temennya jutek, mahal senyum, tapi pinter nulis itu. Seperti apakah ghina setelah melihat langsung. Ternyata gadis itu lebih menyenangkan dari yang dibayangkan sebelumnya.
“lo cantik banget kalo lagi marah-marah….”,
“dan kamu juga ganteng banget kalo nggak gangguin orang atau ngurusin urusannya orang lain”,
“waoww,.. good say!, tapi gue terlanjur suka tuh gangguin orang, apalagi kalau orangnya misterius kayak lo”,
Ujung bibir ghina tertarik sebelah, bermaksud mencibir. Ghina tak menjawab apa-apa. Hanya gerakan kaki untuk menghindar dari si pengusik.
“eh tunggu!”, langkah ghina terhenti lagi.
“apa lagi sih?!”,
“kalo tamu istimewanya kelihatan jangan pergi kemana-mana donk, nggak malu apa lo?”,
“tamu istimewa??!”, kening ghina berkerut.
“iya tamu istimewa dari daerah istimewa”,
“hah? Aku nggak pernah kedatangan tamu dari jogja”, tawa ishaq meledak. Namun si  gadis masih tetap saja linglung. Baru kali ini ghina terjebak oleh seseorang.
“bukan tamu dari jogja ghina cantik… tapi dari daerah istimewa kamu”, cling ! kinerja otak ghina mulai cemerlang. Bersamaan dengan rasa malu. Sekali lagi ghina merasa terjebak.
“emang kelihatan apa?”,
“ya kelihatanlah , jelas banget malah”,
“ya udah nggak usah diliatin”,
Ghina melenggang begitu saja dengan derauan malu yang pertama kalinya. Malu karena seorang pria asing mengetahui hal yang paling dalam dirinya.
Bahkan mbak zahro’ pun hamper jatuh tersungkur mendengar cerita ghina. Bagi mbak zahro’ mungkin itu peristiwa langka untuk seorang ghina yang jauh dari gurauan lawan jenis. Tapi ada kalanya juga gadis super pendiam itu mengalami sedikit kontraksi. Peristiwa ini merupakan kejutan perdana untuknya. Kejutan luar biasa. Seangkuh-angkuhnya seseorang pasti ada titik batasnya. Itu adalah rasa malu.
“udah ah jangan ketawa terus mbak”,
“abis kamu lucu banget ghin, baru kali ini lho kamu kelihatan linglung didepan kang. Kalo aja aku tadi liat langsung muka kamu, pasti kram nih perutku”,
“udah aahh udah, nggak usah dibahas lagi”,


* * *
Bersambung....

1 Response to "[Cerbung]-Prahara Cinta Seorang Syarifah #Ep05"

  1. Nonton film drama korea saat ini sangat mudah, cukup donwload aplikasi MYDRAKOR di googlePlay gratis, banyak film drama korea terbaru dan pilihan, jangan samoe ketingalam

    https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in

    https://www.inflixer.com/

    ReplyDelete

wdcfawqafwef