Story ghina
Kuberjalan didalam gelap
Kumendaki namun tak ku mengerti
Ku masih disini…….. menunggumu
Ku
berlari mengikuti hari
Tak
berhenti aku masih disini
Menantimu
yang entah dimana
Dibawah naungan Anwarul Mukminin
aku selalu berharap,
Bertahan meski sepi………
Menunggu hentakan kaki yang ingin ku
dengar
Dan ku sebut namamu dibawah alam
sadarku
~AMI~
Ku
pandangi buku diary mungil bergambar hello kitty, teringat akan sesuatu pahit
dan juga manis. Pahit karena kita tak saling menyatu. Hatiku menjerit setiap
kali mengingatnya. Kisah cintaku berakhir diujung tanduk. Keputusan itu
meringkus semua asa yang kumiliki belum cukupkah cintaku menjadi korbannya ya
Allah…..
“mbak ghina… gawat mbak”, suara
lantang seorang membuyarkan lamunanku. Melihat junaidah mendekat, kuputuskan
untuk menyudahi curahan hatiku di buku. “ada apa sih jun? apanya yang gawat?”,
junaidah masih tak bisa tenang.
“vita sama menik berantem,
jambak-jambakan dikamar ‘darul khulud’”,
“hah,….?!!”,
“ayo
cepetan kita kesana mbak, sebelum terlambat”, junaidah, si keamanan keII ikut
mempartisipasi kekacauan pesantren, sama-sama bertanggung jawab atas itu.
“STOPP
!!!”, teriakku keras. Kericuhan berhenti sejenak. Aksi vita yang mengantung dan
matanya yang menatapku tajam.
“kalian
ikut aku ke kantor”,
“ghin,
aku bisa jelasin semuanya”, vita mencoba mengelak, namun aku tak peduli, aku
tahu seperti apa vita dulu.
“eh
kamu ! nggak disekolah nggak dipesantren sama aja, selalu bikin orang susah,
selalu aja bikin onar”, bentakku didepan banyak orang. Aku tak peduli lagi
orang seperti dia tak perlu dikasihani. Kejadian beberapa tahun lalu masih saja
terngiang di ingatanku. Membuatku muat untuk menatap wajah brutalnya.
“eh
elo nggak tahu asal-usulnya jangan asal nuduh, bukan gue yang mulai”,
“asal
usul apa lagi?!! Asal usul kamu udah kelam dari dulu,dengan dengan kamu
berantem kayak gini kamu tetep salah! Ini pesantren, bukan arena ring
smackdown!”,
“oke
! fine! Iya gue yang salah! Terus aja elo nyalahin gue, silahkan!”,
Vita
terusir pergi, panas api dihatinya pasti tak ketulungan. Aku terpaku menatap
punggungnya, aku tau gurat wajahnya saat itu, terbersit rasa bersalah menyeruak
didalam hati karena menyalahkannya tanpa ampun didepan banyak orang. Belum
pasti juga dia yang salah. Tapi perilakunya dan teman-temannya dulu sangat
keterlaluan.
“sampai
kapan sih bertingkah seperti anak kecil terus vit?”, ujarku setelah
menemukannya duduk meringkuk memeluk kedua lututnya di bawah tempat jemuran.
“ngapain
elo kesini? Mau nyalahin gue lagi, bilang gue pembawa masalah gitu!! Bilang aja
terus, sesuka lo!”,
“aku
kesini pengen ngajak kamu berdamai sama menik, nggak baik berantem kayak gitu”,
“nggak
mau !”,
Dengusnya
keras. Aku mendengarnya benci. Kenapa harus ada makhluk seresek ini didunia?
Dan kenapa dia harus jadi tanggung jawabku? Sial1
“sesempurna
apa sih kamu sampai diajak damai aja nggak mau?, semua orang pasti punya salah,
apa lagi orang macam kamu!”, ada tekanan dikalimat terakhirku, biar dia sadar.
Hidup ini bukan punya nenek moyangnya, biar dia dia bisa berpikir tentang
kesalahan. Lirikan tajam mengarah padaku, marah?! Yang benar saja, justru aku
yang lebih marah dirutuki masalah karena onarnya selama beberapa tahun.
“oke,
gue mau berdamai, tapi abis itu lo harus dengerin penjelasan gue”, ungkapnya
selama beberapa menit mendengus.
“maksa
banget, jelasin aja sama diri kamu sendiri, intropeksi diri! Kalo pengen pengen
berdamai itu yang ikhlas!”,
“kok
lo gitu sih?”,
“ah
! sudahlah, sekarang terserah kamu, aku capek sejak kemarin kamu datang kesini.
Aku disini bukan Cuma ngurusin kamu aja”,
Aku
beranjak, melangkah menjauh menghidar dari dendam yang dulu sempat membara
mengingatnya dan teman se-genknya merusak buku karyaku. Aku masih ingat itu!
Terlihat jelas tawa mereka yang bagai air mendidih, aku masih tak bisa
memaafkannya. Mereka tertawa tanpa peduli sama sekali dengan perasaanku saat
itu. Sungguh keterlaluan!!
“gue
ngelakuin semua ini demi lo ghin! Demi nyelametin buku karya lo yang mau
diambil menik dan mau diakui sebagai karyanya dia, dia itu pencuri !”,
Langkahku
terhenti, dengan terpaksa untuk menoleh melihat ekspresi membosankan, enak
sekali dia bilang seperti itu. Apa dia lebih baik dari menik?! “heh! Jangan
nuduh sembarangan ya! Menik itu anak baik-baik”,
“lo
di bo’ongin sama tampangnya dia yang sok alim itu ghin! dia itu nggak sebaik
yang elo kira ghina”,
“aku
kenal menik lebih lama dari pada kamu ! dan dia baik-baik aja, justru semenjak
ada kamu hidupku jadi berantakan!”,
“dan
ini buktinya kalo elo nggak percaya!”,
Tangannya
menunjukkan sebuah benda yang sedari tadi disembunyikan dibalik punggungnya.
Aku terpaku seketika, kupandang benda itu yang tak sing bagiku dan ternyata
memang benar. Itu buku karyaku! Kenapa sampai ditangannya? Padahal buku itu
hilang beberapa tahun yang lalu..?? ya ! sebelum aku bernaung di “Anwarul
Mukminin’ kenapa ? …. Bagaimana … bagaimana bisa buku itu ada padanya.
Jangan-jangan malah dia yang mencurinya !!
“kenapa
buku itu ada di kamu? Kamu mencuri ya ?!”, tudingku tanpa piker panjang.
“gue
nggak sengaja nemuinnya dilaci bangku lo pas gue ngasih coklat valentine waktu
itu, sebagai permintaan maaf gue karna udah sering banget jahilin elo, ghin...,
waktu itu baru dapet hidayah kalo selama ini tindakan gue keterlauan dan
merugikan orang lain, terutama lo…”,
Aku
hanyut dalam ungkapannya, tak ada unsur fiksi diwajah setengah preman itu, kali
ini ia mendramatisir terlihat anggun – tak seperti vita yang ku kenal tiga
tahun lalu.
“gue
sadar… setelah baca cerita yang lo buat ghin, gue terharu, ternyata ceritanya
kaya gue banget”,
“trus,
setelah kamu liat buku itu kamu ambil dan nggak mau ngembaliin ke aku gitu,..
sama aja bo’ong”,
“sory
kalo gue lancing. Gue berniat minjem, tapi kalau gue bilang juga lo nggak ngebolehin
kan pastinya”,
“dasar
kamu! Gara-gara kamu aku kayak orang amnesia pas tiba-tiba aja dapet hadiah
dari ‘An-Nida’, padahal aku nggak pernah ngirim ke ‘An-Nida’”,
Sebelah
bibirku tertarik. Untuk pertama kalinya aku tersenyum padanya. Pada makhluk Allah
yang paling ku benci slama ini. Melihat senyumku, ia malah diam terpaku tak
bereaksi. Kurengkuh bahunya setelah lama mematung. Vita masih tak mengungkapkan
sesuatu. Ternyata selama ini tangannya yang membantuku menitah jalanku sebagai
seorang penulis yang kurang dikenal khalayak. Berkat jerih payahnya mengetik
menyalin tulisanku di Microsoft word. Dan dibuku yang telah terbit itupun,
namanya entah kemana. Harus bagaimanakah aku sekarang? Dia justru menjadi
tonggak asaku. Ya Allah.. inikah yang namanya kehidupan… ?
“makasih ya vit, berkat kamu
cita-citaku tercapai”, vita terpaku menatapku, mulutnya menganga seolah melihat
sesuatu yang aneh. Memang aneh hari ini, seorang aku dengan ikhlas memeluknya.
Bahkan tersenyum manis seolah kita ini adalah saudara kembar yang terpisah jauh
dan kini bertemu kembali. Padahal dulu….
“vita, katakana sesuatu, jangan
diam saja”, desakku pada vita
“gue masih nggak percaya lo
meluk gue ghin, mimpi apa gue semalem”, tatapnya dengan heran.
“ah kamu,.. kayak dipeluk siapa
gitu pake nanya-nanya mimpi apa segala”,
“tapi
gue seneng banget ghin, akhirnya lo sadar juga kalo sebenernya gue itu baek”,
“tapi
kenapa waktu itu lo rusakin buku gue vit ?”,
“bukan
gue yang ngerusakin ghin, sumpah !! gue nggak pernah nyuruh, gue juga sempet
marah sama mereka”,
Aku
terdiam. Vita mulai bercerita panjang lebar kejadian yang sebenarnya waktu itu.
Memang waktu itu dia tidak ada disitu. Tapi siapa tahu aja, “terserah elo ghin
mau percaya atau nggak, tapi emang itu bukan kerjaan gue”,
“iya-iya,
gue percaya sama lo vit”, vita tersenyum, kami lukis perdamaian dibawah atap
Anwarul Mukminin, suatu tempat yang menjadi tumpahan segala asaku, keluh
kesahku selama ini. Anwarul Mukminin…
Mungkinkah
aku juga menemukannya kelak, disini? Didirimu yang selalu diberkahi Allah…
“ghin”,
“Hmmm”,
“gue
pengen punya sahabat sejati, nggak kayak temen-temen gue yang dulu, lo mau kan
jadi sahabat gue ghin”,
“nggak
mau!”,
“lo tega banget ya ghin…”,
bibirnya mengerucut. Aku menahan tawa melihatnya. Mengingatkanku pada seseorang.
“enak aja mau jadi sahabatku,
kamu itu anak asuhku disini”, tawanya meledak seketika. Dasar anak mami mantan
preman sekolah, nggak disekolah. Nggak dipesantren, tawanya bisa buat beli
pulsa. Tapi ya memang begitulah vita… selalu apa adanya.
“wah, elo seneng banget jadi
emak-emak”, kami tergelak. Bertukar tawa ditempat yang jauh dari lalu lalang
orang berjalan. Mengingat sebuah tali persahabatan.
“duh, so sweetnya…”,mbak zahro’
hadir ditengah-tengah kecanda tawaan kami.
“eh ghin, vit. Ikut aku ke ndalem
yuk”, kening kami berkerut keatas. Saling ingin Tanya. Tapi mbak zahro’ dengan
cepat melangkah. Ada apa? Kenapa mbak zahro’ Nampak serius sekali.
Sampai di ndalem, vita
tercengang. Namun aku terbiasa. Di kursi ruang tamu putra, abah farikhin didampingi
umik nafisah duduk anggun bak pengantin baru. Tak salah lagi, ini pasti siding
akbar kasus pencurian kemarin. Aku berjalan tersimpuh mengikuti langkah mbak
zahro’. Semua pengurus inti dan keamanan juga duduk berjejer dengan kepala
tertunduk. Tapi yang menjadi pusat pandanganku hanya satu orang disamping
junaidah. Menik ?! ya! Itu menik! Kenapa ada menik, dia kan bukan pengurus inti
atau keamanan ?
Tiba-tiba menik berjalan
bersimpuh kea rah vita, dugaanku mungkin benar menik…???
“vita, sebelumnya aku minta
maaf. Aku udah lancing ngambil uang kamu tanpa izin. Dan ini uang kamu vit.
Tapi maaf uangnya nggak seperti semula. Aku pinjem dulu buat bayar rumah sakit
ibuku. Nanti kalau aku sudah dapat uang aku balikin kurangnya”, satu per satu
air mata menik jatuh terurai. Air mata menik menyentuh relung hatiku. Menik
melakukannya demi ibu… ya allah, pernahkah aku melakukan semuanya untuk ibu?.
Oh bukan ! untuk apa aku melakukannya untuk ibu. Beliau dimana saja sekarang
aku tak tau. Sedih, atau malah bahagia ? ah, rasanya dia bahagia. Harusnya dia
sedih. Hah ! sesedih apapun ibu, pasti lebih sedih aku karena ditinggalkannya
bertahun-tahun dipanti asuhan.
“mbak ghina … aku juga minta
maaf, aku… pernah ngambil buku karyamu untuk aku jual”, menih beralih
menghadapku. Air matanya masih menghias wajah polosnya. Jujur aku kecewa karna
selama ini sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Tapi air matanya…
meluruhkan kekecewaanku. Itu bukan keinginannya. Siapa sih yang tega melihat
orang tua satu-satunya terbaring lemah diruang inap rumah sakit?
“sudahlah nik, aku sudah
memaafkanmu, aku maklum nik, tapi jangan diulangi lagi ya, cukup kali ini
saja”,
Menik mengangguk. Semua orang
memandang kami yang seperti serial kartun teletubis. Menik menangis dipundakku.
Abah farikhin dan umi’ nafisah tersenyum mafhum.
“aku janji nggak akan ulangi
lagi mbak”, semua pengurus ikut terharu. Kulihat mereka terisak, sesekali
mengusap air matanya.
“sekalian aku pamit mbak…,aku
pulang dan… mungkin nggak akan kembali. Mbak-mbak semua, menik pamit ya. Abah,
umi’ terimakasih banyak atas bimbingannya selama ini”,
Tangisku meledak seketika, andai
taka da umi’ dan abah mungkin aku sudah menangis sejadi-jadinya. Ingat ghina….
Menik berhak pergi untuk ibunya. Dan dia nggak bisa selamanya jadi teman tidur
kamu. Ya allah… kuatkanlah hamba.
“menik hati-hati ya di jalan.
Kamu harus tetap semangat, aku selalu berdoa untuk kamu”,
“makasih mbak, mbak juga harus
semangat!”, pegangan tangan kami perlahan mengendor, menik beranjak dari duduk,
menghampiri abah dan umi’ dan bersimpuh tepat didepan lutut beliau berdua.
Mengecup kedua tangan beliau. Suasana semakin mengharu biru.
“menik, tunggu !”, suara keras
vita menggelegar diruang tamu putra. Vita menjadi pusat perhatian saat berjalan
menghampiri menik di ambang pintu.
“ya vit, ada apa lagi?”, jawab
menik.
“uang ini buat kamu aja, kamu
pasti lebih membutuhkannya dari pada aku. Untuk kebutuhan kamu dan ibumu”,
“nggak usah vit, aku nggak mau
nambah hutang lagi”,
“udah … tenang aja, nggak usah
di ganti. Aku niatnya ngasih, nggak ngutangin”,
“tapi vit…”,
“udah… ambil aja, aku seneng kok
bisa bantu kamu. Sekarang aku tau yang sebenarnya, nggak seharusnya aku ngajak
kamu berantem tadi, maaf ya nik…”, menik masih terpaku menatap vita yang terus
saja tersenyum. “ayo ambil…”,
“makasih ya vita…, aku… nggak
tau harus bales kebaikanmu. Makasih … banget”,
* *
*
0 Response to "[Cerbung]-Prahara Cinta Seorang Syarifah #Ep03"
Post a Comment