19 februari, 4 tahun
yang lalu
Love
story ghina 2
Witing tresno jalaran songko kulino. Mungkin slogan
jawa itu yang cocok untuk ghina saat ini. Mulai dari perkenalan penuh malu
selama 5 hari dirumah sahabat sekaligus kakak angkatnya keduanya juga tak
jarang bertemu disuatu majlis lain. Entah itu sekolah maupun ruang tamu saat
aji berdiskusi dengan pengurus perlengkapan putri.
Ghina mulai berubah sedikit demi sedikit. Pengaruh
bunga merekah karena suatu alasan. Dan alasan itu bernama cinta. Ghina lebih
sering tersenyum dari biasanya seolah kehilangan beban perjodohan yang
diberikan sang kakek. Kebencian untuk seorang ayah perlahan lenyap. Toh, ia
juga harus menikah dengan seorang pria,dan pria itu akan menjadi ayah untuk
anak-anaknya nanti. Biarlah masa lalu menjadi cermin, dan kini masa depan kian
menanti.
Dalam sunyi ghina merenung. Satu persatu telaga
matanya mengalir tanpa sadar. Ghina seperti tertampar keras. Berkali-kali ia
harus menemui masa-masa pahit. Ia harus kehilangan satu orang lagi dalam
hidupnya. Pikiran ghina kacau setelah mendengar penuturan kekasih hati tiga
hari lalu di rumah mbak zahro’. Ingin marah tapi ini bukan karena soal
kesalahan. Dan mungkin ini adalah takdir ataukah cobaan? Ghina terlalu kesulitan mendefinisikannya secara rinci.
“aku dapet beasiswa di UI say… ”, kata-kata itu
jelas mengusik pikiran ghina.
“aku akan balik ke Jakarta 2 hari lagi, do’ain aku
ya semoga sukses semuanya”, ghina hanya diam sembari memberi makan ikan.
Mengalihkan pandangannya ke arah sungai, mencoba melawan pedih hatinya.
“ghin…. Kenapa kamu diem aja, kamu nggak seneng aku
sukses disana”, ghina perlahan mengangkat wajahnya. Mencoba menguatkan hati
untuk memandang sang pujaan hati.
“perempuan mana yang nggak seneng kekasihnya sukses.
Aku turut bahagia mas. Tapi…. Itu juga membuatku sendiri karena kamu akan
jauh”,
Ghina tak kuat lagi menahan air matanya, sungai
hijau didepannya menjadi saksi. Terasa kesedihan itu menggelayut tubuhnya dan
tak ingin pergi. Setelah ibu, ayah, kekasih, lalu siapa lagi yang harus
meninggalkannya?
“ghina dengerin aku. Kejauhan ini cuma sementara.
Kita akan bersatu lagi setelah ini ghin. Aku pergi juga untuk masa depan kita
juga saying. Percayalah ghina… setelah kuliahku
selesai aku pasti menemuimu dipelaminan”, secercah harapan menetes
seperti embun pagi yang sejuk. Ghina tersenyum sesaat.
“aku janji ghina… demi cinta kita, aku pastikan kita
akan bersama dalam suka maupun duka, aku akan kembali secepatnya, tunggu aku ya
disini”,
“iya mas, aku pasti do’ain kamu semoga sukses
disana, dan .. .tetap berpegang setia”,
“terima kasih ghina.. thank you very much honey…”,
ghina mencoba memahami keadaan. Tak selamanya
kebahagiaan itu milik seseorang. Masih banyak orang yang belum merasakan
kebahagian. Tanpa kekasih, oh bukan, bukan tanpa kekasih hati namun hanya jauh
saja. Ghina harus sabar saat indah itu tiba. Ghina harus bisa menunggu dalam
kesetiaannya untuk aji seorang.
“ghina…!! ”, panggilan itu menyentak pikirannya
tiba-tiba. Ghina ingin terlihat tegar didepan banyak orang, termasuk mbak
zahro’. Dengan cepat ghina mengusap air matanya.
“ada apa mbak”,
“ghin kamu dapet telephone, katanya penting”, tubuh
ghina tiba-tiba lemas. Ghina paling benci ditelphone dari orang rumah.
“biarin aja lah mbak, paling juga nanti
ujung-ujungnya disuruh pulang”,
“apa salahnya sih kamu pulang ghin? Mungkin mbahmu
kangen atau ada hal penting”,
“hal pentingnya mbah itu Cuma ingin aku nikah mbak,
sama… orang yang nggak aku cintai, udahlah mbak, males aku.”,
“tapi mbahmu katanya sakit keras ghin…”,
Deg ! ghina berhenti bergerak. Hatinya berdesir,
sekuat-kuatnya tekad ghina bertahan dipesantren, ghina paling khawatir bila
kakeknya sakit. Mau tak mau ghina harus pulang. Kesembuhan kakek adalah permata
yang sangat amat mahal untuknya.
“ya sudah mbak, kalo pihak rumah telephone lagi
bilang besok suruh jemput aku ya”,
Zahro’ tersenyum lega sekarang, sekian lama ghina
dibujuk sekuat tenaga, baru kali ini ia bersedia untuk pulang ke rumah. Justru
mbak zahro’ yang bersemangat mengemas baju-baju ghina, namun ghina sendiri
lebih memilih untuk melamun. Semua tersedia rapi oleh kerjaan tangan mbak
zahro’, tinggal menunggu hari esok tiba.
*
* *
Keesokan harinya tiba ghina untuk dijemput, namun
sampai didepan penjemputannya pun ghina masih belum bisa tersenyum, apalagi
tertawa. Ghina kesulitan tersenyum bila harus meninggalkan anwarul mukminin.
Diperjalanan yang cukup lama ghina tetap saja merenung. Ghina tak ingin cepat
sampai dirumah.
Adib, supir pribadi keluarga masyhar pun masih heran
sampai sekarang. Kenapa setiap kali ia mengantar ghina pulang dirinya seperti
patung. Terkadang ada rasa ingin memulai berbicara walau sekedar menyapa, tapi
nona manisnya itu terlalu sibuk berdiam diri. Adib senakin takut mengungkapkan
perasaannya.
Semarang,
21 februari
Perkarangan rumah terlihat ramai
oleh mobil-mobil berjejer. Apa mungkin saudara-saudaranya dari pekalongan
datang menjenguk kakek, pikirnya. Tapi kenapa mobil-mobil itu tak seperti
biasanya ia lihat. Apa mungkin saudaranya membeli mobil baru.
“itu mobil keluarga pak dhe masyhur
kang?”, Tanyanya datar. Reaksi ghina masih tetap seperti biasanya.
“saya kurang tau mbak, tadi pas saya
berangkat belum ada mobil itu”,
Ghina meneruskan langkahnya.
Perlahan pintu rumah dibukanya, ghina terpaku sesaat menatap orang-orang
berkerumun. Yang menjadi pusat perhatian pertamanya adalah sang kakek. Seketika
selera memandang ghina rapuh. Kakeknya terlihat baik-baik saja diruang tamu,
beliau justru terlalu baik-baik saja di usia lanjutnya itu. Rekah senyum
dibibir beliau pada para tamu yang datang menimbulkan kebencian ghina saat ini
dan selamanya. Ghina merasa dikhiyanati luar dalam oleh orang pertama yang
disayanginya. Dan itu lebih menyakitkan.
“naahh, itu dia ghina cucu mbah
sudah sampai. Ghinaaa… sini nak, duduk sama mbah”,
Mau tak mau ghina harus menuruti apa
yang diperintah sang kakek. Meski dalam hatinya tersayat-sayat karena suatu
kebohongan. Ghina mulai menghampiri beliau dan duduk disampingnya.
“gimana tadi perjalanannya ghina?”,
“kenapa mbah nggak tiduran dikamar?
Kenapa mbah malah ketawa-ketawa disini mbah, katanya mbah sakit?”, Tanya
setengah berbisik, sekedar menghormati para tamu yang datang. Wajah kakek
berubah sedikit was-was olehnya.
“mbah langsung sembuh saat kamu
bilang mau pulang ghina, mbah senang sekali ghina sudah ada disini”,
“dan sekarang mbah sudah sembuh kan,
mendingan ghina balik ke pondok aja”, ghina beranjak, tapi dengan cepat beliau
mencekal lengannya.
“ghina! Itu kita bahas nanti saja,
dan sekarang duduklah, mbah mohon”, ghina menghela nafas panjangnya dan dengan
paksa ia keluarkan, mengeluarkan segala amarah.
“sudah lama kami tidak kesini, kak
ghina makin cantik saja ya bib”, segenap tamu yang datang ikut tersenyum,
begitu pula sang kakek.
“iya bib, dia seperti sayyidah anna
sekarang”, sang kakek menyeringahi kebahagiaan keluarga habib masthofa.
“gimana yek menurutmu ?”, habib
musthofa menyenggol lengan putra tunggalnya, yek ahmad.
“cantik sekali, abah…”, jawabannya
sembari tersenyum menggoda. Diruangan itu hanya ghina yang tak bisa tersenyum.
Ucapan pria minta dinikahkan memang begitu, pikirnya.
Satu jam ghina bertahan duduk
dikursi panas. Terpaksa mendengar perbincangan kedua keluarga yang itu-itu saja
didengarnya. Tanpa mereka mngutarakan maksudpun ghina sudah tahu sejak
jauh-jauh hari. Apalagi kalau tidak pernikahan. Ghina muak dengan semua itu.
“duh, nggak terasa ya. Hari sudah
sore. Emmm… bib, kami pamit pulang dulu”, habib musthofa akhirnya mengakhiri
perbincangan.
“oh, iya-iya lain waktu kita sambung
lagi”,
“iya bib,
tentu saja kita kan sudah menjadi keluarga”, kedua lelaki paruh baya itu saling
bertukar senyum.
“ya sudah bib, kami pulang dulu, assalamualaikum…”,
“waalaikumsalam…”,
Setelah kepergian mereka, ghina bergegas ke kamar,
disusul sang kakek yang mengekor mengejar ghina. Sejak tadi ghina memaksakan
diri untuk bertahan, duduk tanpa bicara apapun, dan sekarang apa lagi?.
“ghina dengarkan penjelasan mbah nak!”,
“penjelasan apalagi mbah?! Mbah tau ghina nggak bisa
konsen ngaji karena mikirin mbah sakit, tapi ternyata apa?!”,
“kalo tidak begitu apa kamu mau pulang ghina?! Mbah
Cuma pengen kamu pulang nak”,
“terus kalo ghina udah pulang mbah mau apa?”,
“mbah mau kamu menikah dengan yek ahmad besok rabu”,
Empat mata, cucu – kakek itu saling menatap tajam,
menyimpan beribu amarah, tapi sulit untuk mengungkapkan.
“ghina nggak mau!! Ghina nggak cinta sama yek
ahmad”,
“apa kamu tidak pernah berpikir kalo kamu ini seorang
sayyidah, ghina?! Dan sayyidah tidak bisa melawan takdir”,ghina bungkam bila
harus membicarakan tentang takdir. Jujur ghina ingin sekali melawan takdir,
tapi hanya dengan cintanya saja tak cukup. Nasab leluhur yang disandangnya
cukup berat ditanggungnya ghina hanya seorang wanita biasa.
“kamu ini seorang syarifah ghina, dan syarifah harus
menikah dengan syarif biar nasab kita tidak putus”,
“tapi ghina belum siap mbah…”,
“kamu sudah siap ghina, mbah mengerti perasaanmu.
Kita ini ditakdirkan menjadi orang yang beruntung, jadi jangan sia-siakan itu”,
“terus bagaimana dengan ngajiku mbah?”,
“kamu tidak usah khawatir, kamu bisa ngaji sama yek
ahmad nanti, percayalah ghina, hidup kamu pasti bahagia. Cuma ini permohonan
mbah sama kamu. Mbah nggak akan minta apa-apa lagi nak”,
Ghina mengangguk setelah lama berpikir soal
permintaan sang kakek. Mungkin saatnya ia harus mengalah. Demi seorang kakek
dan kelangsungan hidupnya.
“maafkan mbah ghina… mbah lakukan ini karena mbah
tidak mau kamu mengalami apa yang terjadi pada ibumu dulu”, jerit batin pria
paruh baya yang merawatnya sejak kecil.
*
* *
Bersambung
Nonton film drama korea saat ini sangat mudah, cukup donwload aplikasi MYDRAKOR di googlePlay gratis, banyak film drama korea terbaru dan pilihan, jangan samoe ketingalam
ReplyDeletehttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/
episode 07 kok gak ada ya
ReplyDelete