Flashback : Love story
ghina masyhar
16
sya’ban, liburan akhir tahun
Ghina terduduk sendiri melihat lalu
lalang para santriwati berkemas. Belasan panggilan masuk didepan telephone
milik pondok dengan nomor yang sama ia acuhkan begitu saja. Ghina malas sekali
hari ini. Ghina benci mendapat panggilan telephone ini. Ia lebih memilih duduk
sendiri ditengah hiruk pikuk penyambutan hari libur. ambarawa masih tak
berubah, pikirnya selalu.
“ghin, kenapa sih kamu nggak mau
angkat telephone itu, siapa tahu penting”, mbak zahro’ mencoba membujuknya.
Namun prinsip ghina tak pernah tergoyah. Ghina sering kali dibujuk seseorang.
Namun tetap saja nihil.
“nggak ada yang penting mbak. Mbah
pasti nyuruh aku pulang”,
“emang kamu nggak pengen pulang,
ghin”,
Ghina tertunduk. Tangannya memainkan
bolpoin tanpa henti. Sebuah tanda bahwa ghina sedang ada masalah. Kemudian mbak
zahro’ menghentikan aktifitasnya itu, menyeringahi dengan cengiran.
“aku tau kenapa kamu nggak mau
pulang, kamu ada masalah kan dirumah?”,
“ee… aku…”, ghina tergagap.
“udah, nggak usah ditutup-tutupin,
aku tau kok. Eh,ghin, pulang ke rumahku aja yuk. Nanti kita mancing disungai”,
Seketika raut muka kusut ghina
berubah drastis. Matanya berbinar, membuat mbak zahro’ lega melihatnya. Adik
asuhnya itu memang mudah ditaklukan olehnya, hanya dengan mengajaknya pergi ke
sungai. Ghina menyukai alam berair.
“mau banget mbak…”, jawabannya
dengan sumringah.
“hmmmm…. Dasar wong gunung”, ghina
hanya cengar-cengir sembari menyahut bolpoinnya dari tangan mbak zahro’ dengan
cepat.
“ya udah, cepetan siap-siap,
sebentar lagi aku mau dijemput ghin”,
“oke mbak”,
*
* *
Ghina lelah sampai ditempat. Apalagi
kalau tiba datang bulan. Kedua kakinya mengayun diatas tempat tidur. Perjalanan
yang lumayan jauh itu menimbulkan bunyi gemertak ditulang sendinya. Tapi
seenggaknya itu menyenangkan, karena hanya tubuhnya yang lelah, bukan pikiran
ataupun perasaannya. Ghina lega sekarang.
“mandi dulu sana, ghin. Terus
makan”, mbak zahro’ melenggang dihadapannya seusai mandi. Memandang ghina penuh
canda.
“males ahh mbak dingin…”,
“hello…. Ini bukan ambarawa ghina.
Disini panas…”,
“oh iya ya, aku lupa kalau ini di
Demak”,
“ya udah cepetan sana mandi”,
Tangannya bergerak menjajar kening,
memberi hormat pada sang sesepuh. Tanpa canggung, ghina berlari ke kamar mandi
itu karena rumah mbak zahro’ rumah ghina juga.
Bulir-bulir air membasahi tubuhnya.
Ia biarkan tubuhnya terbiasa dengan apa yang didekatnya saat ini. Suhu panas,
sungai berjejer, mungkin ia sudah biasa dengan panorama itu ketekia mbak zahro’
mengajaknya pulang. Tapi justru ia sangat menikmati. Ghina suka sekali sungai
hijau, sungai Demak.
Angannya melayang jauh, sambil
memainkan air ghina seolah mempunyai beberapa waktu. Dan tiba-tiba saja lampu
padam. Singup! Sunyi…. Semuanya gelap. Hanya suara gemersik air yang mengucur.
Ghina berhenti dari aktifiasnya dan meletakkan dayung biguta saja. Dirabanya
gantungan baju disebelah tangannya yang tertera baju disana. Balutan sarung,
baju dan jilbab seadanya. Ghina mencoba menghindar dari kegelapan. Namun seakan
langkahnya tercekat ketika datang suara hentakan kaki diatasnya. Ya, tepat
diatas kepalanya. Ghina nyaris pingsan kalau bukan karena mengingat pesan
kakeknya jika sedang berhadapan dengan penghuni lain disuatu tempat ia harus
mengucap salam.
“assalamualaikum ya ibadikas
sholihin…”, ucapnya dengan perasaan was-was. Tubuhnya bergetar hebat.
“waalaikumsalam…”, suara dikegelapan
itu menjawab. Ketakutan ghina tambah berkembang pesat menjalar keseluruh tubuh.
Apalagi suara itu sangat asing. Bukan ayah atau kakaknya mbak zahro’ atau
saudaranya?.
Ghina mengucapnya sekali lagi, dan
kali ini tak ada jawaban. Hanya suara krek… tik… tik… nging… dakk…!
“kok nggak dijawab ya? Apa mungkin
makhluk halusnya sekarang bukan muslim ? aduh… mbak zahro’ dimana… aku takut…”,
gerutunya dalam hati.
Kegelapan
masih mengunci langkahnya. Ghina terjebak dikamar mandi seorang diri ditengah
kegelapan yang mencekam. Angin malam berdesar menghajar tubuhnya yang kian
membeku. Suasana berubah sunyi setelah suara itu tak terdengar lagi. Mulutnya
berkamit melafalkan ayat-ayat suci al-qur’an, meski ada sebagian paham yang
melarang namun ia tak peduli.
Drap lampu akhirnya nyala kembali.
Ia lega sekarang, dalam hati ghina mengucap hamdalah beberapa kali. Cepat-cepat
ia membuka pintu. Dan ….
“Huuaaa… aaa….a..!!!”,
Spontan ghina berteriak histeris.
Seorang pria tinggi semampai langsung menutup mulutnya dengan ujung jari.
“hhssstttt..!! berisik ! ngapain sih
teriak-teriak? Lo pikir ini dihutan apa?!”,
“lha lagian situ nganggetin aja, kan
aku kira setan tadi”,
“setan-setan mbahmu ! mana ada setan
bisa benerin lampu”,
“namanya juga nggak tau, kenapa
marah-marah to?”,
“y ague jelas nggak terima donk lo kira setan,
ganteng-ganteng gini dikira setan, lagian lo siapa sih?”,
Ghina melengos, berkacak pinggang kemudian
melenggang begitu saja membiarkan pria asing itu bertanya-tanya. Bukan ghina
bila harus meladeni setiap kata pria kecuali kakeknya. Itupun masih tak
seluruhnya. Tak jarang ghina bertingkah seolah-olah tak ada apa-ap setelah
mengalami sebuah peristiwa. Ghina tetap ghina yang dulu. Tak banyak bicara, tak
banyak senyum. Tapi tegas dalam bertindak. Dan selalu melakukannya sendiri.
Ghina lebih menyukai kesendirian, tapi takut pada kegelapan.
Gening air sebening embun pagi, membujuk siapa saja
yang ingin melihatnya. Ditambah pepohonan hijau lebat dan angina sepoi, sungai
jernih dipenuhi ikan-ikan bermunculan sesuka hati menarik perhatian ghina untuk
memenuhi hasyrat memancingnya dua hari yang lalu. Ghina tak ingin melewati
panorama apik itu. Ada beberapa ikan disana, tapi yang diidamkan darinya selalu
saja yang memiliki bahaya. Ghina terpatri dengan ikan lele.
“suka banget sama ikan, orang pegunungan ya’ lo”,
tiba-tiba datang suara dibelakangnnya, bersamaaan dengan pantulan bayangan dari
dalam air. Hampir saja ghina berteriak. Tapi setelah tau siapa yang datang,
teriakan itu berubah gerutu hati. Seperti biasa, ghina berkacak pinggang
setelah sekilas melirik seorang yang berkomentar atas dirinya. Seolah tak ada
apa-apa.
“ini orang mahal banget suaranya….”, batin orang
itu. Lama keduanya berdiri, namun sunyi.
“ghina masyhar, lahir 11 oktober 1994, perawan ayu
ambarawa, ditanyain kok diem aja sih…”, akhirnya kalimat itu meluncur juga
setelah sedari tadi menyumpal diujung bibirnya. Kali ini ghina bereaksi.
Kepalanya memutar kebelakang melihat si pria yang mengobral pesona gingsulnya.
“kamu sebenarnya siapa toh?, hoby banget ngerusak
mood orang”, Tanya ghina sinis, tapi yang ditanya malah cengar-cengir bikin
geli.
“nah gitu dong, ngomong. Mahal banget sih suaranya.
Oh ya kenalin, gue aji maulana ishaq. Anak-anak anwarul mukminin sih manggilnya
ishaq, soalnya gue anaknya papi Ibrahim abah farih juga manggilnya ishaq lho…”,
“nggak penting nama kamu siapa, tapi aku mau kamu
jangan banyak omong dan jangan muncul secara tiba-tiba”,
Aji justru sebaliknya, tetap tenang meski orang
didepanya beramarah besar. Aji justru penasaran dengan gadis itu yang kata
temennya jutek, mahal senyum, tapi pinter nulis itu. Seperti apakah ghina
setelah melihat langsung. Ternyata gadis itu lebih menyenangkan dari yang
dibayangkan sebelumnya.
“lo cantik banget kalo lagi marah-marah….”,
“dan kamu juga ganteng banget kalo nggak gangguin
orang atau ngurusin urusannya orang lain”,
“waoww,.. good say!, tapi gue terlanjur suka tuh
gangguin orang, apalagi kalau orangnya misterius kayak lo”,
Ujung bibir ghina tertarik sebelah, bermaksud
mencibir. Ghina tak menjawab apa-apa. Hanya gerakan kaki untuk menghindar dari
si pengusik.
“eh tunggu!”, langkah ghina terhenti lagi.
“apa lagi sih?!”,
“kalo tamu istimewanya kelihatan jangan pergi
kemana-mana donk, nggak malu apa lo?”,
“tamu istimewa??!”, kening ghina berkerut.
“iya tamu istimewa dari daerah istimewa”,
“hah? Aku nggak pernah kedatangan tamu dari jogja”,
tawa ishaq meledak. Namun si gadis masih
tetap saja linglung. Baru kali ini ghina terjebak oleh seseorang.
“bukan tamu dari jogja ghina cantik… tapi dari daerah
istimewa kamu”, cling ! kinerja otak ghina mulai cemerlang. Bersamaan dengan
rasa malu. Sekali lagi ghina merasa terjebak.
“emang kelihatan apa?”,
“ya kelihatanlah , jelas banget malah”,
“ya udah nggak usah diliatin”,
Ghina melenggang begitu saja dengan derauan malu
yang pertama kalinya. Malu karena seorang pria asing mengetahui hal yang paling
dalam dirinya.
Bahkan mbak zahro’ pun hamper jatuh tersungkur
mendengar cerita ghina. Bagi mbak zahro’ mungkin itu peristiwa langka untuk
seorang ghina yang jauh dari gurauan lawan jenis. Tapi ada kalanya juga gadis
super pendiam itu mengalami sedikit kontraksi. Peristiwa ini merupakan kejutan
perdana untuknya. Kejutan luar biasa. Seangkuh-angkuhnya seseorang pasti ada
titik batasnya. Itu adalah rasa malu.
“udah ah jangan ketawa terus mbak”,
“abis kamu lucu banget ghin, baru kali ini lho kamu
kelihatan linglung didepan kang. Kalo aja aku tadi liat langsung muka kamu,
pasti kram nih perutku”,
“udah aahh udah, nggak usah dibahas lagi”,
*
* *
Bersambung....
Nonton film drama korea saat ini sangat mudah, cukup donwload aplikasi MYDRAKOR di googlePlay gratis, banyak film drama korea terbaru dan pilihan, jangan samoe ketingalam
ReplyDeletehttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/